DALAM banyak kasus, pengobatan tradisional seperti pijat refleksi, akupuntur dan pengobatan dengan tenaga dalam tidak menjanjikan kesembuhan instan. Prosesnya membutuhkan ketekunan pasien berobat secara rutin atau melakukan latihan-latihan pernapasan sendiri.
Namun, pengobatan dan perawatan kesehatan dengan metode ini, meski punya keterbatasannya sendiri, lebih aman karena tidak ada bahan asing yang dimasukkan ke dalam tubuh. Kita tidak mampu menyembuhkan semua penyakit. Metode ini punya keterbatasan, dan untuk hal ini kita selalu jujur,” ujar refleksolog Robert The di Jakarta, “Tetapi apakah ada sistem pengobatan absolut, yang bisa menyembuhkan semua jenis penyakit?”
Jenis penyakit yang tidak bisa ditangani dengan metode refleksologi terutama adalah penyakit-penyakit yang berkaitan dengan genetika, penyakit yang sudah pernah dioperasi dan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus.
“Kalau sudah pernah dioperasi syaraf motoriknya sudah dibuang dan kita tidak bisa masuk karena metode kita bersifat tidak langsung, melalui syaraf,” ujar Robert yang sudah praktik sekitar 10 tahun itu.
“Kita juga tidak bisa menyembuhkan penyakit yang disebabkan virus. Tetapi metoda pengobatan Barat pun tidak bisa menyembuhkan penyakit yang disebabkan virus? Yang bisa dilakukan adalah menguatkan kondisi tubuh pasien agar bisa melawan virus itu.”
Pijat melalui zona refleks akan membuat peredaran darah dan organ-organ tubuh yang berkaitan dengannya menjadi lebih baik karena zona refleks merupakan titik-titik syaraf yang satu sama lain berhubungan meski tidak berdekatan. Ia ditemukan di seluruh tubuh, namun zona refleks terbaik berada di bagian kaki.
Peredaran darah pada setiap organ tubuh sangat penting karena ia merupakan medium yang membawa nutrisi (substansi anabolik, oksigen, hormon, antibodi, juga kotoran katabolik). Semakin baik peredaran darah, lebih cepat proses penyembuhannya.
“Organ tubuh itu ibaratnya mesin mobil, yang selalu butuh perawatan. Salah satu upaya merawatnya adalah dengan pijat refleksi,” ia menyambung, seraya menambahkan, beberapa dari pasiennya berprofesi sebagai dokter. Beberapa pasiennya juga merupakan pasien lama, yang masih terus memelihara kesehatannya melalui pijat refleksi.
“Pijat refleksi baik untuk memelihara kondisi kesehatan tubuh dibanding minum obat, karena hampir tidak ada risikonya,” ujar Dewi. “Saya juga menjadi semi vegetarian. Paling tidak, saya tidak lagi makan daging merah,” ujar perempuan yang tampak segar pada usia yang katanya “Sudah mendekati 40.”
Calon pasien harus mendaftarkan diri seminggu di muka, dengan hari dan jam yang sudah ditentukan, dilayani empat refleksolog dan waktu pijat sekitar satu setengah jam. “Paling banyak seorang refleksolog bisa memijat empat pasien sehari. Saya sendiri membatasi tiga saja. Itu pun sudah sangat capai,” ujar Pak Harto, salah satu refleksolog yang bekerja bersama Pak Robert.
***
DENGAN kemauan sendiri dan tanpa paksaan setuju menjalani pengobatan dengan akupuntur, untuk itu kami tidak akan menuntut secara hukum, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dari metode pengobatan ini yang sedang dalam tingkat penelitian.
Surat pernyataan ini yang diberlakukan bagi pasien di Poli Akupuntur Jalan Indrapura Surabaya. Tujuannya mencegah hal-hal negatif sehubungan dengan metode pengobatannya, meski sampai sekarang belum ada pasien yang mempermasalahkannya. Selain itu pasien harus ada yang mendampingi selama proses pengobatan berlangsung.
Poli pengobatan tradisional menggunakan tusuk jarum yang dialiri arus listrik ini dalam sehari dikunjungi 40-70 pasien. Waktu pengobatan per pasien sekitar 15-20 menit dengan pemasangan jarum sedikitnya pada enam titik. Keluhan pasien antara lain kesemutan, nyeri, darah tinggi, darah rendah, dan linu pada lutut yang biasanya menyerang mereka yang berusia 40 tahun ke atas.
“Sakit pinggang saya sembuh setelah berobat 12 kali atau satu paket,” ujar Ny Budiarto (43). Selama ini Ny Budiarto merasakan nyeri pada pinggang. “Sudah banyak dokter yang saya datangi, tetapi tetap saja kambuh. Jadi saya tusuk jarum,” lanjut Ny Budiarto yang kini melakukan terapi pengurangan lemak.
Hal serupa juga dialami Drg Sukarsih (47), penderita diabetes mellitus. Sebulan terakhir ini ia merasakan seluruh kaki dan tangannya sering kesemutan. Ia memilih tusuk jarum atas anjuran temannya. “Baru lima kali terapi, tetapi kesemutan di kaki dan tangan sudah hilang. Kadar gula saya juga mulai normal,” ujarnya.
Selain poli akupuntur, poli tenaga dalam juga banyak dikunjungi pasien, yang umumnya mengeluh linu pada bagian tertentu, osteoatritis, komplikasi berbagai penyakit, hipertensi dan stroke.
Mereka umumnya kondisi mereka saat datang sudah kritis, sehingga banyak syarafnya yang mati. Pengobatan dilakukan selama 30-45 menit, dan tidak semata-mata tergantung pada pengusada, karena pasien juga terlibat dalam olah napas. Poli tenaga dalam ini, menurut dr Sulistyawati, saat ini dilayani tiga pengusada.
Teknik pengobatan mengandalkan pernapasan ini memang abstrak dan sulit diteliti, karena menggunakan konsentrasi dan doa, dua hal sering ditanyakan “keilmiahan”-nya, meski pembuktiannya tidak terlalu sulit. Pengusada Adi Wijaya (74), misalnya, dalam dua tahun terakhir ini berhasil mengobati 500 pasien.
Menurut dia, saat melakukan terapi, selain ia sendiri khusuk berdoa, kepada pasien disarankan menarik napas secara teratur dan berkonsentrasi agar kesembuhan lebih cepat dirasakan. “Saya mengkonsentrasikan diri saya pada bagian tubuh pasien yang sakit sambil terus berdoa agar konsetrasi tidak terganggu,” kata Adi.
Semua pengusada mengawali proses pengobatan dengan doa. Misalnya batuk dan sesak, setelah berdoa sekitar 15 menit, secara pelahan dengan pernapasan teratur membayangkan bagian paru yang sakit. Konsentrasinya ditujukan pada bagian itu.
Sambil terus berzikir dibarengi doa pasien sesuai agama atau kepercayaannya, keduanya saling mendukung dalam pengobatan tenaga dalam ini. “Teknik pengobatan ini mudah ditularkan kepada orang lain, terutama bagi yang berbakat,” kata dr Sulistyawati yang tengah mendalami olah napas untuk menjadi pengusada.
Adi sendiri sebelum menjadi pengusada sempat menderita flek pada paru pada tahun 1993, dan sembuh setelah berobat dengan tenaga dalam. Meski dinyatakan sudah sembuh ia melanjutkan latihan olah pernapasan selama 12 hari. Saat itu ia sudah berhasil menyembuhkan anggota keluarganya yang kena flu.
Selama itu pula ia berlatih olah pernapasan dua kali seminggu. Pada tahun 1996 ia kembali memeriksakan penyakitnya dan dinyatakan sembuh total oleh dokter di Rumah Sakit Umum Daerah dr Sutomo.
Menurut Sulistyawati, meski hasil penelitian terhadap keampuhan pengobatan tenaga dalam belum memuaskan, tetapi peminatnya sudah banyak. Sikap para dokter yang memandang sebelah mata teknik pengobatan yang abstrak ini tidak menyurutkan minat penderita untuk melakukan terapi tenaga dalam.
***
DENGAN doa pula Ki Tjipto Pringgodani (53) di Semarang melakukan spesialisasi pengobatan untuk penyakit hepatitis yang tak pernah sepi pasien. Seperti diketahui, penyakit ini belum ditemukan obatnya dalam ilmu pengobatan modern.
Untuk mengobati hepatitis A, B dan C, Ki Tjipto menggunakan bahan dari berbagai jenis tumbuhan yang diramu seperti jamu. Namun, jamu ini belum mampu mengobati pasien tanpa penyaluran energi serta doa yang dipanjatkannya.
“Jamu hanya berfungsi sebagai medium penyaluran energi melalui doa yang saya panjatkan khusus untuk kesembuhan pasien,” ujarnya. Karena itu, ia tidak bisa memroduksi jamu untuk diperdagangkan bebas sebagaimana jamu-jamu lainnya.
Karena ada unsur doa dan energi yang disalurkan itu pada setiap pasien, maka ramuan yang dibuat oleh setiap pasien pun berbeda, dan hanya bisa digunakan oleh pasien yang memesan atau yang datang berobat kepadanya.
Produk jamu Ki Tjipto terbuat dari bahan pronojiwo, bangle, dlingo, cengkeh hutan, kitolot, biji dan akar pinang, bunga kelapa, akar beringin, batang kamboja putih dan bahan lainya termasuk sarang burung walet.
Perhatian Ki Tjipto pada penyakit hepatitis muncul ketika ia berkunjung ke Eropa pada tahun 1993 dan tahun 1996. Waktu itu ia melihat banyak penderita hepatitis B dan C pada usia muda yang divonis mati, karena tidak mungkin tertolong setelah penyakitnya berkembang menjadi sirosis (pengerasan hati) dan hepatoma (kanker hati). Kemudian ia tahu biaya tes dan pengobatan penderita hepatitis sangat mahal dan tidak terjangkau banyak orang.
Kemampuan mengobati diperoleh Ki Tjipto dari almarhum pamannya yang katanya pernah menjadi tabib di Keraton Yogyakarta. Ia ikut pamannya sejak kelas V SD, mulai belajar dan bertugas mencari bahan jamu. Ia pun ditugasi meramu bahan jamu sambil mendalami ilmu-ilmu pengobatan. Namun, ia juga harus menjalani ketentuan untuk memperkuat ilmu batinnya.
Ki Tjito sendiri sebenarnya punya pengalaman pribadi dengan hepatitis. Istrinya pada tahun 1972 menderita hepatoma dan sembuh dengan pengobatan yang ia lakukan. Penderitaan sama dialami Ratna, salah satu pasiennya saat ini. Karyawati di Semarang itu divonis menderita hepatitis B. Karena tak mampu berobat secara medis, ia mencoba berobat kepada Ki Tjipto.
Untuk itu ia hanya membayar Rp 150.000 dan memperoleh obat untuk 30 hari. Setelah pengobatan pertama sebulan kemudian, ia kembali melakukan tes. Jika pada tes awal dinyatakan HBsAG positif, pada tes kedua, sudah negatif.
Akan tetapi, tampaknya ada satu hal yang harus diingat kalau memilih metode pengobatan seperti ini; yakni sugesti akan kesembuhan. Kekuatan sugesti dari diri sendiri sebenarnya merupakan kekuatan sangat ampuh yang menyembuhkan.
***
BEBERAPA tahun terakhir ini, beberapa dokter mulai memperkenalkan obat tradisional, khususnya untuk kanker, seperti Yayasan Wisnuwardhana Surabaya, melalui Klinik Pengobatan Alternatif Kanker Terpadu Prof dr Asmino.
Menurut Ketua Yayasan Prof Dr dr Roem Soedoko, kepada pasien diberikan obat tradisional dan ekstrak tulang rawan ikan hiu, atau fitofarmaka atau melalui tusuk jarum dan tenaga dalam.
Dengan pengobatan alternatif, klinik ini bisa menekan ongkos perawatan. Roem Soedoko mencontohkan, untuk perawatan chemoterapi, seorang penderita kanker payudara membutuhkan biaya berjuta-juta untuk sekali suntik. Suntikan harus dilakukan beberapa kali dan tak jarang dalam perkembangannya harus disinar atau dioperasi.
Di Amerika Serikat, 60 persen penderita kanker melakukan pengobatan alternatif di samping penyembuhan secara medik, yang menghabiskan biaya sampai puluhan milyar dolar setahun. (eta/dth/mh)
Sumber : kompas.com